Menjadi Kaya atau Menjadi Miskin
Posted by Bu Pun Su | Posted in oplosan | Posted on 07.44
Syahdan, ada seorang Syekh yang hidup sederhana. Ia makan sekadar kebutuhannya yang dibutuhkan. Karena profesinya sebagai nelayan, pagi-pagi ia memancing ikan. Setelah mendapat banyak ikan, ia membela ikan-ikan itu menjadi dua: batang tubuh ikan-ikan itu dibagi-bagikan kepada tetangganya, sementara kepalanya ia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan, maka ia dijuluki Syekh Kepala Ikan. Ia seorang Sufi yang memiliki banyak murid. Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan Syekh Kepala Ikan ini mempunya seorang guru Sufi besar di sana. "Tolong kamu mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku," pesan Syekh kepada muridnya.
Si murid pun pergi untuk berdagang. Setibanya di Mursia, ia mencari-cari rumah si Syekh itu. Ia membayangkan akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Namun ternyata orang menunjukkannya ke sebuah rumah besar dan luas. Ia tidak pecaya, mana ada seorang Sufi besar tinggal di bangunan yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan, dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat. Ia terheran-heran: "Guru saya hidup dengan sangat sederhana, sementara orang ini sangat mewah. Bagaimana ia bisa menjadi gurunya guru saya?"
Ia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya. Ia menyampaikan salam gurunya dan memintakan nasihat untukknya. Syekh pun bertutur, "Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia." Si murid tambah bingung dan sedikit kesal karena tidak bisa mengerti. Syekh ini hidup demikian kaya raya dan ketika diminta nasihat oleh orang yang hidupnya sederhana, malah menyuruh jangan memikirkan dunia?
Saat gurunya mendengar nasihat yang diperoleh muridnya, ia hanya tersenyum dan sedikit sedih. Semakin ia tidak paham. Apa maksud nasihat ini? Gurunya menjawab, "Syekh Akbar itu benar. Menjalani tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah SWT. Bisa jadi seseorang miskin harta terus, tetapi hatinya memikirkan dunia. Saya sendiri, ketika makan kepala ikan, masih sering membayangkan betapa enaknya makan dagingnya!" (Kearifan Timur dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin, Jusuf Sutanto, Penerbit Buku Kompas, 2007, hal.167-168)