Posted by
Bu Pun Su
|
Posted in
ngelantur
|
Posted on
09.30
Dulu waktu kuliah pernah belajar mengenai teori antrian. Kalau tidak salah untuk mengatasi masalah antrian paling tidak ada 2 cara: menambah server atau memperluas ruang tunggu antrian.
Beberapa hari yang lalu (dan beberapa minggu yang lalu) kita sekeluarga terpaksa antri 2 jam di stasiun tugu jogjakarta hanya untuk beli tiket kereta api ke jakarta. Antri di depan kita ada sekitar 200-an orang (berdasarkan nomor urut antrian kita). Menurutku, dengan antrian sepanjang itu harusnya sudah dipikirkan solusinya dong.
Kalau kita lihat kondisi di stasiun: sudah tersedia 6 loket dan ruang tunggu yang luas (aku ga tau persisnya berapa) meski dengan tempat duduk terbatas. Yang bikin kesal adalah dari 6 loket tersedia kok cuman diisi oleh 2 server saja???
Aneh.. Lha sudah tau antrinya segitu panjangnya kok ga dibuka 4 loket lainnya.
Analisis ngawurku:
Dari yang terjadi disana, ini aku coba untuk menganalisis ngawur apa yang dipikirkan atau yang terjadi disana.
1. Penghematan. Dengan hanya mempekerjakan 2 server, kan jadi irit. Tentunya dengan menaikkan gaji ke-2 orang server itu. Misal gaji 1 server = Rp x. Dengan menaikkan gaji 2 server itu jadi Rp 2x/orang = Rp 4x, maka tetap hemat to cuman nambah Rp 2x. Daripada harus menambah Rp 4x untuk 4 orang lagi. Tidak peduli customer mo antri seperti apa. Wong orang ngayojakarta hadiningrat itu kan orangnya sabar2. Ngantri 2 jam ora apa apa.
2. Rusak. Mungkin aja perangkat yang 4 loket itu pada rusak. Yang bisa jalan ya cuman 2 itu. Mereka nggak ngerti cara betulinnya. Makanya yo wis pakai 2 saja. Wong orang ngayojakarta hadiningrat itu kan orangnya sabar2. Ngantri 2 jam ora apa apa.
Kesimpulan ngawur: Kita harus tahu karakter customer kita. Jadi kita bisa memanfaatkan kondisi customer untuk memaksimal keuntungan ekonomis kita....
Posted by
Bu Pun Su
|
Posted in
oplosan
|
Posted on
23.09
Kutip lagee... (Seinci Waktu Sekaki Permata, Agus S. Gunadi)
Thomas Aquinas: "Hanya ini yang dapat dikatakan dengan pasti, yaitu 'Kita tidak tahu siapa Dia'".
Konsili Lateran II: "Setiap gambaran kita tentang Tuhan lebih banyak tidak seperti Dia daripada seperti Dia."
Posted by
Bu Pun Su
|
Posted in
oplosan
|
Posted on
23.14
Kutip lagi ah... (dari burung berkicau, A.de Mello, SJ)
Khotbah sang Guru pada hari itu hanya terdiri dari satu kalimat penuh teka-teki.
Ia tersenyum lemah dan mulai berkata:
"Satu-satunya yang aku kerjakan di sini hanyalah duduk di pinggir sungai dan menjual air sungai"
Dan khotbahnya sudah selesai.
tidak ada kepandaian... tidak ada kepandaian...
Posted by
Bu Pun Su
|
Posted in
ngelantur
|
Posted on
22.48
Inilah nama jurus dalam ilmu silat Amdjian Siohoen koen [Im-jian-soh-hun-kun] = ilmu silat perpisahan [ilmu pukulan pengikat sukma]:
- Simkhia djioktiauw [Sim-keng-bak-tiau] = hati takut daging melonjak [hati kaget daging kedutan]
- Kiedjin yoethian [Ki-jin-yu-thian]= kesedihan yang melampaui batas [si tolol menguatirkan runtuhnya langit]
- Boetiong sengyoe [Bu-tiong-seng-yu]= dalam kekosongan terdapat isi [tidak ada tapi mengada-ada]
- Tohnie taysoei [Do-ni-tay-sui] = menyeret lumpur membawa air [basah kuyup dan berlumpur]
- Bobeng kiemiauw [Bok-beng-ki-miau] = tak tahu apa kebagusannya [bingung tidak paham]
- Djiakyoe sosit [Yak-yu-soh-sit] = seperti juga kehilangan sesuatu [seperti kehilangan sesuatu]
- Toheng geksie [To-heng-gik-si] = jalan jungkir balik [tindak terbalik dan berbuat berlawanan]
- Keksie sioyang [Keh-hoa-soh-yang] = di balik sepatu menggaruk rasa gatal [menggaruk gatal dari balik sepatu]
- Latpoet tjiongsin [Li-put-ciong-sim] = kemauan besar tenaga kurang [keinginan besar tenaga kurang]
- Hengsie tjauwdjiok [Heng-si-cau-bak] = mayat berjalan [mayat berjalan bangkai bergerak]
- Yongdjin tjoeyoe = si goblok kejengkelan sendiri
- Boenpoet toeitee = karangan tak cocok dengan kalimat
- Lioksin poet-an = pikiran tak tentram
- Kiongtouw bweelouw = menemui jalan buntu
- Binboe djinsek [Bin-bu-jin-sik] = di muka tak ada cahaya manusia [muka pucat tanpa perasaan]
- Huaphia tjiongkie = menggambar kue, menghilangkan lapar
- Siongdjip hoeihoei = pikiran melantur
Daftar tersebut diambil dari Sin Tiauw Hiap Lu (Boe Beng Tjoe) untuk nama-nama dan arti tidak di dalam tanda kurung siku dan Pendekar Rajawali Sakti (Gan KL) untuk nama-nama dan arti dalam tanda kurung siku ([...]).
Posted by
Bu Pun Su
|
Posted in
ngelantur
|
Posted on
01.46
Sudah lazim kalau dalam lembaran uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bergambar pahlawan nasional di satu sisi dan gambar pemandangan atau rumah dsb di sisi yang lain. Adakah pernah sekali-sekali kita memperhatikan dan menghafal gambar pahlawan apa yang ada di lembar uang kertas tertentu? Ingatkah kita dengan guyonan uang Pak Harto mesem?
Tentu kita tahu bahwa satu lembar uang kertas terdapat satu gambar pahlawan. Dan seingatku, belum pernah dalam satu periode yang sama ada dua lembar uang kertas dengan nominal berbeda menggunakan gambar pahlawan yang sama. Pernahkah muncul pertanyaan adakah hubungan antara nominal uang kertas dengan pahlawan? Adakah konsiderasi dari Bank Indonesia dalam menentukan gambar di dalam lembaran uang kertas? Mengapa pahlawan Pattimura digambar di lembaran uang seribuan? Mengapa I Gusti Ngurah Rai digambar di lembaran 50ribu? Mengapa tidak yang lain? Apakah karena I Gusti Ngurah Rai digambar di 50ribu dan Pattimura di uang 1000 lantas I Gusti Ngurah Rai lebih hebat dari Pattimura?
Ingat kalo uang Rp 500 kertas bergambar monyet? Bukankah akan muncul pertanyaan, apakah Pattimura hanya senilai dua kali kera? (Untungnya sekarang sudah cukup susah cari pecahan 500 kertas, setidaknya pas nulis ini tidak aku ketemukan di kantong dan dompetku....)
Pasti tidak. Tapi tetap saja tidak tahu alasan pemilihan gambar di pecahan uang kertas....
Tetap...tidak ada kepandaian....
Posted by
Bu Pun Su
|
Posted in
oplosan
|
Posted on
07.44
Syahdan, ada seorang Syekh yang hidup sederhana. Ia makan sekadar kebutuhannya yang dibutuhkan. Karena profesinya sebagai nelayan, pagi-pagi ia memancing ikan. Setelah mendapat banyak ikan, ia membela ikan-ikan itu menjadi dua: batang tubuh ikan-ikan itu dibagi-bagikan kepada tetangganya, sementara kepalanya ia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan, maka ia dijuluki Syekh Kepala Ikan. Ia seorang Sufi yang memiliki banyak murid. Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan Syekh Kepala Ikan ini mempunya seorang guru Sufi besar di sana. "Tolong kamu mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku," pesan Syekh kepada muridnya.
Si murid pun pergi untuk berdagang. Setibanya di Mursia, ia mencari-cari rumah si Syekh itu. Ia membayangkan akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Namun ternyata orang menunjukkannya ke sebuah rumah besar dan luas. Ia tidak pecaya, mana ada seorang Sufi besar tinggal di bangunan yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan, dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat. Ia terheran-heran: "Guru saya hidup dengan sangat sederhana, sementara orang ini sangat mewah. Bagaimana ia bisa menjadi gurunya guru saya?"
Ia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya. Ia menyampaikan salam gurunya dan memintakan nasihat untukknya. Syekh pun bertutur, "Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia." Si murid tambah bingung dan sedikit kesal karena tidak bisa mengerti. Syekh ini hidup demikian kaya raya dan ketika diminta nasihat oleh orang yang hidupnya sederhana, malah menyuruh jangan memikirkan dunia?
Saat gurunya mendengar nasihat yang diperoleh muridnya, ia hanya tersenyum dan sedikit sedih. Semakin ia tidak paham. Apa maksud nasihat ini? Gurunya menjawab, "Syekh Akbar itu benar. Menjalani tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah SWT. Bisa jadi seseorang miskin harta terus, tetapi hatinya memikirkan dunia. Saya sendiri, ketika makan kepala ikan, masih sering membayangkan betapa enaknya makan dagingnya!" (Kearifan Timur dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin, Jusuf Sutanto, Penerbit Buku Kompas, 2007, hal.167-168)
Posted by
Bu Pun Su
|
Posted in
oplosan
|
Posted on
07.33
Maaf, judul dan ceritanya diambil dari sebuah buku baru: Kearifan Timur dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin, Jusuf Sutanto, Penerbit Buku Kompas, 2007, hal.170-171.
Ada dua orang sufi besar yaitu Ibrahim bin Adham dan muridnya Syaqiq al Balki. Konon, Ibrahim dulunya seorang pangeran dan setelah mendapatkan pencerahan maka ia menjadi sufi. Syaqiq al Balki dulunya seorang pengusaha yang dalam kesufiannya masih sering gelisah mengenai darimana mendapatkan rejeki.
Suatu saat keduanya berjalan-jalan di pinggir hutan dan mereka melihat seekor burung menggelepar di tanah karena sayapnya patah. Tapi tiba-tiba membesut seekor burung lain dengan membawa makanan dan melolohkan ke paruh burung yang patah sayapnya.
Melihat kejadian itu, Syaqiq al Balki merenung, "Astaghfirullah, kalau burung saja dijamin rejekinya oleh Allah, apalagi saya." Ini salah satu bentuk tawakal kepada Allah. Tapi Ibrahim bin Adham, gurunya, malah menegur dia: "Aneh kamu ini, kenapa kamu hanya melihat burung yang patah sayapnya dan tidak berdaya. Mestinya kamu belajar dari burung yang sehat itu, yang dengan kesehatannya itu ia mampu mencari nafkah tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga membantu burung lain yang patah dan membutuhkan bantuannya."
Posted by
Bu Pun Su
|
Posted in
ngelantur
|
Posted on
01.32
Pernah lihat iklan LA Lights yang tagline-nya "Kegagalan adalah enjoy yang tertunda"? Dalam iklan tersebut kata sukses dicoret dan diganti dengan enjoy. Sebuah tagline yang sangat menarik. Bukan sekedar bahwa waktu masih SD, aku selalu memakai motto "Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Waktu itu, motto itu benar-benar powerfull untuk menyemangati diriku ini jika mengalami kegagalan-kegagalan dan membangkitkan semangat lagi.
Sekarang, kita akan membahas dan mengomentari tagline tersebut.
Pertama, dengan sudut pandang yang sedikit berbeda, "Kegagalan adalah sukses yang tertunda" adalah wujud dari sebuah harapan yang 'dipaksakan' muncul untuk mengatasi kegalauan atas sebuah kegagalan yang diterima. Atau dari sisi yang sedikit lebih berbeda, tagline tersebut dapat diartikan sebagai sebuah 'pembenaran' semata. Ketika sebuah kegagalan datang, seseorang akan cenderung ('insting' mungkin) untuk mencari kesalahan-kesalahan di luar kesalahan dirinya sendiri. Bisa menyalahkan orang lain, menyalahkan situasi, menyalahkan kondisi, menyalahkan alam, bahkan menyalahkan nasib dan takdir. Ketika sudah terjebak pada situasi menyalahkan dan tidak menemukan kesalahan, seseorang akan berusaha untuk membesarkan hati yang sebenarnya adalah semacam 'pembenaran' semata untuk membuat hati menjadi lega atas kondisi dari sebuah kegagalan.
Kedua, coba rumusan tagline tersebut dilihat dari sudut pandang yang lain lagi yang sedikit mengarah ke logika. Logikanya, jika sebuah "kegagalan adalah sukses yang tertunda". Bukankah memungkinkan pula logika bahwa "sukses adalah kegagalan yang tertunda"? Kondisi kedua ini yang sekiranya jarang orang perhatikan karena kembali pada pembahasan pertama. Kembali ke bahasan pertama, tagline "kegagalan adalah sukses yang tertunda" lebih digunakan untuk 'pembenaran' diri dan mengingkari adanya kenyataan yang lain yaitu 'sukses adalah kegagalan yang tertunda'.
Mengenai bahasan kedua, ada sebuah cerita yang seringkali menjadi selipan dalam wejangan atau kotbah. Cerita ini mudah didapatkan dari beragam buku yang berisi tentang anekdot yang bermuatan petuah atau permenungan. Ceritanya seperti berikut:
Katakanlah di suatu saat, tinggalah seorang petani dan anaknya yang berusia remaja. Petani tersebut memiliki seekor kuda. Kuda betina itu selama ini sangat membantu banyak pekerjaan petani terutama dalam mengangkut hasil taninya.
Suatu saat, kuda tersebut lari dari kandangnya dan lari ke hutan yang tidak jauh dari pemukiman penduduk. Tetangga petani itu yang mengetahui berita tersebut berusaha menghibur petani. Tetapi petani tersebut, dengan tenang menjawab, "Apakah ini sebuah kemalangan?"
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba muncul dari hutan, kuda petani yang hilang itu dan menuju ke rumah pak petani itu. Yang mengagetkan adalah di samping kuda itu berjalan beriringan sebuah kuda jantan liar yang gagah, kuat, dan bagus. Kuda liar itu sepertinya mampu melakukan kerja apapun dengan kekuatannya. Melihat hal itu, tetangga sekitar menyalami pak petani dan memberi selamat. Sekali lagi, pak petani hanya menjawab, "Apakah ini sebuah keberuntungan?"
Karena kuda liar tersebut begitu gagah, anak petani tergoda juga untuk menungganginya. Awalnya, kuda liar tersebut dapat ditaklukkan. Anak petani itu dengan bangganya berkeliling menunggangi kuda liar tersebut. Tiba-tiba kuda itu marah dan melempar jatuh anak petani. Akibatnya, anak petani mengalami cacat di kakinya. Dengan maksud ikut berbela sungkawa atas kejadian itu, para tetangga mengunjungi rumah petani itu. Kembali, pak petani hanya menjawab, "Apakah ini sebuah kemalangan?"
Sebulan kemudian, datanglah ke desa itu, sekelompok prajurit kerajaan. Komandan pasukan itu kemudian memberikan pengumuman kepada penduduk desa. Isinya bahwa kerajaan sekarang dalam kondisi perang. Oleh karenanya, semua warga yang sehat jasmani dan masih kuat diwajibkan untuk mengikuti wajib militer dan akan dikirim perang. Pak petani sudah berumur lanjut sehingga tidak memungkinkan untuk dikirim ke medan perang. Karena cacat akibat jatuh dari kuda, anak petani juga tidak terkena wajib militer. Pak petani kembali mengucapkan, "Apakah ini sebuah keberuntungan?"