membantu

Posted by Bu Pun Su | Posted in | Posted on 15.05

Hari ini makan pagi seperti biasa. Di tempat biasa juga. Dan dengan kejadian yang biasa juga, mungkin.


Di tengah-tengah menikmati nasi pecel, datang serombongan anak muda seusia lulusan SMA atau mungkin mahasiswa tingkat-tingkat awal. Dua cowok dan dua cewek dateng ke warung sebelah. Datang dan menyapa pemilik warung sebelah. Terasa akrab dengan pemilik warung.
Nah, saat yang hampir bersamaan, pemilik warung sebelahnya lagi langsung melongok ke warung yang didatangi 4 anak muda tadi. Berhubung seperti sebuah insiden, aku jadi ikutan melongok. Kebetulan posisi dudukku menghadap ke warung tersebut.

Ternyata, mereka berempat langsung duduk dan membantu seorang anak muda (mungkin anak pemilik warung atau karyawannya) yang sedang mempersiapkan sayur dan bumbu-bumbunya. Sementara tiga orang temannya sibuk memotong-motong sayuran, cabe, dsb, salah satu cowok mengeluarkan handycam. Nah, ketauan kan motifnya...hehehe...

Awalnya aku mengira keempat anak muda itu, masih saudara, tetangga, atau teman anak dari pemilik warung. Wajar jika mereka terlihat akrab dengan pemilik warung. Ternyata eh ternyata, berdasarkan pengamatan empat mata dan analisis asal-asalan, timbul hipotesis bahwa mereka sekumpulan anak muda (entah anak sekolah atau mahasiswa) yang mendapat tugas (dari kakak kelas atau dari guru atau dosen atau siapapun) untuk meliput atau mengamati kegiatan masyarkat marjinal (maaf, hanya istilah aja kok). Motifnya, kemudian adalah dengan membantu mereka.

Setelah diamati lebih lanjut, kebetulan saat mau membayar nasi pecel plus 2 mendoan, ternyata ibu pemilik warung sedang menyiapkan minuman (mungkin teh) buat mereka berempat. Nah lho. Jadi deh timbul pikiran-pikiran usil.
Pikiran usil tentang kegiatan membantu. Sebenarnya teringat juga waktu tugas mata kuliah Agama saat kuliah dulu yang kurang lebih sama dengan yang mereka lakukan itu. Nah, pertanyaan yang terlintas adalah dalam bentuk apakah yang pantas untuk membantu seseorang yang lain.

Pertanyaan ini muncul karena menyaksikan (dan ditambahkan dengan asumsi-asumsi yang tidak jelas hehehe) adegan demi adegan di warung sebelah walau secara singkat. Asumsi yang muncul adalah sepertinya pemilik warung menanggapi bantuan kecil tersebut angin lalu, merasa tidak terbantu, dan bahkan justru sebaliknya merasa membantu keempat anak muda itu untuk menyelesaikan tugasnya. Nah lho. Jadi siapa membantu siapa???? Ups, kembali ini berdasarkan asumsi dan opini dari pengataman empat mata lho. Dalam hati orang siapa yang tahu?

Jadi kembali ke pertanyaan semula. Bentuk bantuan apa ya yang pantas untuk seseorang. Nah, tadi sempat terpikir. Bahwa setiap orang punya nature-nya masing-masing. Setiap orang punya panggilan masing-masing. Anak-anak punya nature untuk bermain. Lebih dewasa lagi dia terpanggil untuk belajar. Setelah dewasa akan memiliki nature untuk berkarya apapun bentuk karyanya. Nah, disinilah bentuk bantuan disesuaikan dengan nature-nya masing-masing. Lebih detail lagi harus jeli dan peka menangkap kebutuhan mereka yang dibantu.
Begitu deh, justru inilah yang sulit...karena akupun tidak peka dan tidak punya kepandaian...

Master Tarno, The Master of Traditional Magic

Posted by Bu Pun Su | Posted in | Posted on 15.18

Beberapa waktu lalu, The Master menampilkan dan menganugerahkan gelar Master kepada seorang Magician yang bukan jebolan ajang The Master. Sosoknya yang sederhana dengan sulap yang sederhana pula dan dengan keluguannya telah menarik sambutan dari para penonton saat itu. Namun kali ini, saya tidak akan membahas sosok ini. Tapi akan mengutip komentar Bapak yang satu ini yang dikutip dari sebuah tabloid.

Kalau hati kita sudah tercurah kepada apa yang akan kita lakukan, secara otomatis kita akan menyenangi kegiatan kita. Kalau kita senang dengan kegiatan kita, hasilnya akan maksimal
Kata-kata yang bagus...maklum aku tidak ada kepandaian...